Mengenai pendidikan bagi orang dengan berbagai  jenis kecacatan,  gambaran umum sejarah menunjukkan adanya perkembangan  dari upaya-upaya  pendidikan yang sporadis, ke keingintahuan filosofis,  hingga  didirikannya sekolah-sekolah khusus serta lembaga khusus lainnya.  Dari  sejarah, kita dapat melihat kilasan-kilasan tentang berbagai  kondisi  para penyandang cacat mulai dari zaman Mesir Kuno, Yunani kuno,  Injil  dan Qur’an, dan sejumlah teks abad ke-18. Serpihan-serpihan  dokumentasi  itu memberi kesan tentang adanya sikap yang mendua, antara  perawatan,  kasih sayang dan minat pada satu pihak, dan, di pihak lain,  kurangnya  tanggung jawab, eksklusi dan kecenderungan yang meningkat  untuk  mengelompokkan orang berdasarkan jenis kecacatannya. Tidak  mengherankan  bahwa dokumentasi tentang upaya-upaya pendidikan itu hanya  merupakan  sebagian kecil dari informasi yang ada mengenai orang-orang  yang  menyandang kecacatan, mengingat bahwa pendidikan formal merupakan  hak  istimewa bagi sebagian kecil orang pada awal sejarah.
Model huruf ukiran untuk orang tunanetra ditemukan  pada zaman Mesir  kuno, dan juga pada zaman Renaissance di Eropa ketika  Erasmus dari  Rotterdam (1469- 1536) juga menggunakan alfabet ukiran  dalam pelatihan  keterampilan menulis bagi siswa-siswa yang awas.  Informasi lain  mengatakan bahwa sejak abad kelima telah ada berbagai  kelompok orang  tunanetra yang dapat mencukupi dirinya sendiri dan yang  mengatur  pelatihan pekerjaan internal. Satu contoh tentang mengajarkan  membaca  bibir kepada orang tunarungu ditemukan di Keuskupan York pada  abad  kedelapan. Namun, menurut Enerstvedt (1996), pengetahuan mengenai  cara  mendidik orang yang tunarungu berat mulai disebarkan dari apa yang   disebut “revolusi Spanyol yang tidak begitu terkenal” ke berbagai bagian   benua Eropa lainnya dan kepulauan Inggris pada akhir abad ke-16.
Bagaimana orang dapat belajar jika satu indera tidak  berfungsi?  Girolam Cardano (1501- 1576) memperkenalkan pendapat bahwa   indera-indera itu saling menggantikan, sehingga bila indera penglihatan   atau pendengaran hilang, indera lain akan berfungsi sebagai dasar bagi   aktivitas kognitif dan belajar (Befring 1994; Enerstvedt 1886). Ketika   filosof empiris Inggris John Locke (1632-1704), memfokuskan kembali   tentang pentingnya fungsi indera-indera untuk belajar dan pemahaman,   pandangannya menjadi titik awal bagi rasa ingin tahu filosofi baru dan   sedikit demi sedikit juga minat pendidikan. Metode pengajaran bagi orang   yang menyandang ketunarunguan dan ketunanetraan berat muncul dalam   agenda resmi. Paris menjadi tuan rumah yang baik bagi perkembangan   berbagai pendekatan khusus, dan minat orang meluas untuk juga mencakup   perlakuan bagi penyakit jiwa dan gangguan perkembangan yang parah. Dari   Paris gagasan tentang pendidikan khusus menyebar ke seluruh Eropa dan   benua lain.
Charles-Michel de l’Epée (1712-1789) mendirikan  sekolah khusus  pertama bagi tunarungu di Paris pada tahun 1770. Dia  mendasari  pengajarannya pada metode holistik dengan penggunaan bahasa  isyarat  sebagai komponen sentral. Upaya ini dilanjutkan oleh sejumlah  sekolah  lain di seluruh Eropa dengan menggunakan berbagai metode  pengajaran  lain. Ketidaksepakatan mengenai metodologi menjadi ciri yang  kekal  sejak awal hingga zaman kita sekarang ini. Di Jerman Samuel  Heinicke  (1727-1790) dan penerusnya, Friedrich Hill (1805-1874)  mendapatkan  inspirasinya dari ahli pendidikan tua Comenius dan  Pestalozzi, ketika  mereka mengembangkan yang disebut sebagai “metode  oral”. Metode  tersebut berpengaruh besar pada awal perkembangan  pendidikan bagi  tunarungu di Norwegia, bersaing dengan sekolah khusus  pertama bagi  orang tunarungu di mana bahasa isyarat merupakan pendekatan  komunikasi  yang utama. Denmark adalah negara Nordik pertama dengan  sekolah khusus  bagi tunarungu, yang pertama didirikan di kota Libeck,  yang ketika itu  bagian dari Denmark. Di Kopenhagen, anak seorang pastor  dari Norwegia,  Peter A. Castberg (1779-1823) mendirikan Lembaga Kerajaan  bagi orang  tuli-bisu pada tahun 1807. Dia juga adalah kekuatan  penggerak yang  berada di balik  Undang-undang Pendidikan bagi Tunarungu  Denmark,  undang-undang semacam ini yang pertama di dunia. Salah seorang  siswa  Castberg, Andreas C. Møller (1796-1874) yang dia sendiri juga   tunarungu, mendirikan sekolah pertama semacam ini di Norwegia pada tahun   1825, diikuti oleh beberapa sekolah lain pada tahun 1850-an.
Valentin Haüy (1745-1822) mendirikan sekolah khusus  pertama bagi  tunanetra di Paris pada tahun 1784, dengan bantuan keuangan  dari  masyarakat philanthropic yang baru didirikan. Beberapa sekolah  seperti  ini dibuka di sejumlah negara Eropa lainnya. Swedia adalah salah  satu  negara Nordik pertama, ketika Pär Aron Berg (1776-1839) membuka  sebuah  sekolah bagi siswa yang tunanetra dan tunarungu pada tahun 1809.  Di  Norwegia, lembaga pertama bagi orang tunanetra dibuka pada tahun  1861.
Di Paris, lebih dari sekedar ketunarunguan dan  ketunanetraan yang  telah menarik perhatian dokter, pendeta dan pendidik.  Ibu kota Perancis  merupakan pusat aktivitas perintis yang menangani  berbagai jenis  kecacatan dan kebutuhan khusus, yang saling  mengkontribusikan gagasan.  Pada masa itu orang yang dianggap gila  dikurung di tempat yang disebut  sebagai rumah sakit bersama dengan  kriminal, gelandangan dan tahanan  politik. Philippe Pinel (1745-1826)  membebaskan mereka dan dia mulai  memberikan perlakuan, bukan sekedar  memenjarakannya. Sejak saat itu,  menjadi hal yang sangat penting untuk  mendiagnosis dan mengkategorikan  berbagai kondisi, seperti perbedaan  antara penyakit jiwa dan kelainan  perkembangan atau ketunagrahitaan  berat. Seorang murid Pinel, Jean  Etienne Esquirol (1782-1840) membuka  perdebatan yang kini masih  berlangsung hangat mengenai “nature” versus  “nurture”. Pertanyaan yang  esensial adalah apakah penyebab kelainan  perkembangan tertentu adalah  herediter/bawaan atau lingkungan/dapatan –  suatu perdebatan yang kini  telah menjadi penting lagi setelah dihasilkan  temuan-temuan baru dalam  studi tentang genetika.
Murid Pinel yang lain, Jean M. G. Itard (1774-1838)  melakukan sebuah  upaya yang menjadi simbol bagi titik awal pendidikan  bagi anak  tunagrahita, ketika dia menyelenggarakan program pendidikan  bagi “anak  liar dari Aeyron”. Dia menangani seorang anak laki-laki yang  tampaknya  telah hidup di hutan tanpa kontak dengan manusia  bertahun-tahun. Ada  yang mengatakan serigala yang memeliharanya. Itard  mempraktekan  eksperimen pendidikannya selama lima tahun dan menulis  laporan rinci,  mendokumentasikan bahwa anak tersebut belajar beberapa  hal. Namun,  karena anak tersebut tidak berhasil belajar berbicara, dia  menganggap  intervensinya gagal.
Ketika Edward Seguin (1812-1880) beberapa tahun  kemudian mulai  mengajar seorang anak laki-laki yang tunagrahita dengan  bantuan dari  Itard dan Esquirol, Seguin menjadi pendiri sebuah sekolah  khusus bagi  anak tunagrahita. Dia tidak hanya mencari inspirasi dari  pergerakan  pendidikan khusus sebelumnya di Paris, tetapi juga dari   pemikiran-pemikiran pendidikan umum Comenius, Locke dan Rousseau, juga   dari filsafat dan agama Kristen. Dengannya dimulailah era eksperimen   pendidikan yang optimistik dalam bidang ketunagrahitaan, yang tersebar   luas ke beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, karena Seguin   mengembangkan karyanya lebih lanjut di “Dunia Baru” di seberang lautan   Atlantik (Askildt & Johnsen 2001).
Sumber:
http://miftahinginberbagi.wordpress.com/2010/03/14/sejarah-pendidikan-kebutuhan-khusus-menuju-inklusi-dalam-kontek-norwegia-dan-eropa/



Nice info,sis. Salam kenal, pas banget... saya lagi nyari bahan untuk tugas kuliah saya, boleh saya copas ya, tar saya sebutkan asal tulisan diambil dari blog ini. oia, mampir ke blog saya ya :)
BalasHapus